Liputan6.com, Jakarta: Menteri Agama Suryadharma Ali mengutuk kerusuhan dan tindak kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Pernyataan ini disampaikan menyikapi terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap sekelompok santri pengikut Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Omben, Kabupaten Sampang Madura, Ahad (26/8).
"Tindak kekerasan atas nama apapun, te
rmasuk atas nama agama atau perbedaan aliran keagamaan, tidak dapat dibenarkan," tegas Menag di Jakarta, Senin (27/8).
Suryadharma Ali menegaskan agama mengajarkan kedamaian, dan tidak mengajarkan kekerasan. Perbedaan pendapat dalam beragama memang ada, termasuk perbedaan pandangan antara mazhab Syiah dan Sunni. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan.
"Setiap persoalan yang muncul karena adanya perbedaan pandangan agar diselesaikan lewat dialog yang konstruktif dan penuh persaudaraan," ujar Menag.
Masalah di Sampang, Madura, harus diselesaikan melalui dialog. Untuk itu, Menag meminta kantor wilayah Kementerian Agama setempat dapat memfasilitasi dialog tersebut.
Menag mengimbau semua pihak agar senantiasa mengedepankan sifat toleransi dan prinsip persaudaraan antar sesama agama (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwwah wathaniyyah), serta persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah basyariyah).
Terhadap pelaku tindak kekerasan, Menag meminta kepada aparat keamanan untuk menindak tegas. Siapa pun yang terlibat, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. "Prinsip dasarnya, kekerasan atas nama apa pun dan dengan dalih apa pun, tidak dapat dibenarkan," tutup Menag.
Seperti diketahui, bentrokan di Sampang terjadi akibat konflik antarpenganut aliran keagamaan warga Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jawa Timur. Kedua warga yang berbeda aliran keagamaan itu bentrok menggunakan senjata tajam. Seorang warga dilaporkan meninggal setelah diamuk massa, sementara puluhan warga lain luka-luka terkena senjata tajam. (ANT/MEL)
Suryadharma Ali menegaskan agama mengajarkan kedamaian, dan tidak mengajarkan kekerasan. Perbedaan pendapat dalam beragama memang ada, termasuk perbedaan pandangan antara mazhab Syiah dan Sunni. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan.
"Setiap persoalan yang muncul karena adanya perbedaan pandangan agar diselesaikan lewat dialog yang konstruktif dan penuh persaudaraan," ujar Menag.
Masalah di Sampang, Madura, harus diselesaikan melalui dialog. Untuk itu, Menag meminta kantor wilayah Kementerian Agama setempat dapat memfasilitasi dialog tersebut.
Menag mengimbau semua pihak agar senantiasa mengedepankan sifat toleransi dan prinsip persaudaraan antar sesama agama (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwwah wathaniyyah), serta persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah basyariyah).
Terhadap pelaku tindak kekerasan, Menag meminta kepada aparat keamanan untuk menindak tegas. Siapa pun yang terlibat, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. "Prinsip dasarnya, kekerasan atas nama apa pun dan dengan dalih apa pun, tidak dapat dibenarkan," tutup Menag.
Seperti diketahui, bentrokan di Sampang terjadi akibat konflik antarpenganut aliran keagamaan warga Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jawa Timur. Kedua warga yang berbeda aliran keagamaan itu bentrok menggunakan senjata tajam. Seorang warga dilaporkan meninggal setelah diamuk massa, sementara puluhan warga lain luka-luka terkena senjata tajam. (ANT/MEL)
Liputan6.com, Sampang: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyesalkan terjadinya tragedi di Sampang, Madura, Minggu kemarin.
Presiden menilai tragedi ini sebagai akibat penanganan masalah yang tidak tuntas sejak Desember tahun lalu. Presiden kecewa dengan buruknya kinerja intelejen Polri dan TNI di wilayah tersebut, yang dinilai tidak bisa mengantisipasi potensi konflik.
SBY menginstruksikan men
Presiden menilai tragedi ini sebagai akibat penanganan masalah yang tidak tuntas sejak Desember tahun lalu. Presiden kecewa dengan buruknya kinerja intelejen Polri dan TNI di wilayah tersebut, yang dinilai tidak bisa mengantisipasi potensi konflik.
SBY menginstruksikan men
jadi kewajiban bagi jajaran pemerintah daerah melakukan antisipasi yang riil, sehingga tidak terlambat melakukan respons.
Yudhoyono menginginkan masalah yang terjadi di Sampang segera bisa diatasi dan dicarikan solusinya. SBY menginginkan tidak pernah ada lagi kejadian terulang berupa peristiwa kekerasan yang terjadi di Sampang.
SBY mencatat kekerasan yang terjadi di Sampang merupakan kedua kalinya dalam satu tahun terakhir, setelah pada bulan Desember 2011 dan kemudian Agustus 2012
Yudhoyono menginginkan masalah yang terjadi di Sampang segera bisa diatasi dan dicarikan solusinya. SBY menginginkan tidak pernah ada lagi kejadian terulang berupa peristiwa kekerasan yang terjadi di Sampang.
SBY mencatat kekerasan yang terjadi di Sampang merupakan kedua kalinya dalam satu tahun terakhir, setelah pada bulan Desember 2011 dan kemudian Agustus 2012
Liputan6.com, Jakarta: Sedikitnya tujuh orang diperiksa terkait bentrokan antar kelompok masyarakat di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Madura.
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, tujuh orang itu diduga sementara sebagai pemicu terjadinya kerusuhan tersebut. "Diperiksa di Polres Sampang, diduga keterkaitannya dengan peristiwa yang terjadi. Statusnya belu
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, tujuh orang itu diduga sementara sebagai pemicu terjadinya kerusuhan tersebut. "Diperiksa di Polres Sampang, diduga keterkaitannya dengan peristiwa yang terjadi. Statusnya belu
m mengetahui karena pemeriksaan masih berlangsung," ujarnya di Jakarta, Senin (27/8).
Boy menjelaskan, bentrokan dua kelompok yang terjadi pada Ahad (26/8) siang mengakibatkan dua orang tewas. Yakni atas nama Hamamah (50) meninggal di tempat kejadian, dan Mat huse (48) yang meninggal di rumah sakit. Sementara terdapat tujuh orang terluka, salah satunya Kapolsek Omben AKP Aris yang menderita luka di bagian kepala dan pelipis kanan karena terkena lemparan batu saat berusaha melerai bentrokan.
Menurut Boy, kerugian materil akibat bentrokan itu yakni terbakarnya 15 rumah warga. Sebanyak 14 rumah yang terbakar milik pengikut Kyai Tajul Muluk, dan satu rumah milik pengikut Kyai M. Rois. "Kami masih mendalami latar belakang terjadinya bentrok dengan memeriksa sejumlah saksi," tegas Boy.(MEL)
Boy menjelaskan, bentrokan dua kelompok yang terjadi pada Ahad (26/8) siang mengakibatkan dua orang tewas. Yakni atas nama Hamamah (50) meninggal di tempat kejadian, dan Mat huse (48) yang meninggal di rumah sakit. Sementara terdapat tujuh orang terluka, salah satunya Kapolsek Omben AKP Aris yang menderita luka di bagian kepala dan pelipis kanan karena terkena lemparan batu saat berusaha melerai bentrokan.
Menurut Boy, kerugian materil akibat bentrokan itu yakni terbakarnya 15 rumah warga. Sebanyak 14 rumah yang terbakar milik pengikut Kyai Tajul Muluk, dan satu rumah milik pengikut Kyai M. Rois. "Kami masih mendalami latar belakang terjadinya bentrok dengan memeriksa sejumlah saksi," tegas Boy.(MEL)
Liputan6.com, Jakarta: Menurut mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid meminta kepolisian meminta maaf. Sebab, polisi dinilai gagal mencegah jatuhnya korban dari kelompok Syiah yang tewas akibat bentrokan di Sampang, Madura, Jawa Timur, kemarin.
"Kepolisian harus menyatakan maaf atas nama institusi negara. Kemudian menunjukkan sikap rasa bert
"Kepolisian harus menyatakan maaf atas nama institusi negara. Kemudian menunjukkan sikap rasa bert
anggung jawab dengan segera menangkap pimpinan penyerang, disusul penyerta penyerangan," ujar Usman di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/8).
Menurut Usman yang merupakan aktivis Change.org, pihak kepolisian sudah mengetahui rencana penyerangan tersebut, tapi tidak segera bertindak sigap. Menurut Usman, parade amuk dan amarah atas nama kebenaran sepihak berdalih tafsir agama, kembali dibiarkan. "Ini sudah kejahatan by mission."
Usman menilai pula, aparat kepolisian telah melakukan pembiaran kejahatan yang terjadi di depan mata. Apalagi, polisi terkesan tidak mau dan tak mampu mengambil posisi yang semestinya sebagai pihak yang netral.
Menurut Usman, bentrokan terjadi secara sistematik. Bahkan, serangan telah direncanakan jauh hari sebelum Lebaran tiba. "Isu penyerangan sudah terdengar di wilayah Karang Gayam."
Lantaran itulah, imbuh Usman, dengan alasan apa pun penyerangan tersebut tidak layak dibenarkan. Terlebih, kekerasan disertai pembakaran dan pembantaian berdarah. Hal ini, masih menurut Usman, sekali lagi menunjukkan bahwa negara sebagai pengayom dan pelindung setiap warga negara, berperan sangat minimal bahkan nyaris tak berfungsi.(ANS)
Menurut Usman yang merupakan aktivis Change.org, pihak kepolisian sudah mengetahui rencana penyerangan tersebut, tapi tidak segera bertindak sigap. Menurut Usman, parade amuk dan amarah atas nama kebenaran sepihak berdalih tafsir agama, kembali dibiarkan. "Ini sudah kejahatan by mission."
Usman menilai pula, aparat kepolisian telah melakukan pembiaran kejahatan yang terjadi di depan mata. Apalagi, polisi terkesan tidak mau dan tak mampu mengambil posisi yang semestinya sebagai pihak yang netral.
Menurut Usman, bentrokan terjadi secara sistematik. Bahkan, serangan telah direncanakan jauh hari sebelum Lebaran tiba. "Isu penyerangan sudah terdengar di wilayah Karang Gayam."
Lantaran itulah, imbuh Usman, dengan alasan apa pun penyerangan tersebut tidak layak dibenarkan. Terlebih, kekerasan disertai pembakaran dan pembantaian berdarah. Hal ini, masih menurut Usman, sekali lagi menunjukkan bahwa negara sebagai pengayom dan pelindung setiap warga negara, berperan sangat minimal bahkan nyaris tak berfungsi.(ANS)
Liputan6.com, Jakarta: Aktivis Change.org, Usman Hamid menjelaskan kronologi bentrokan antara penganut Syiah dan Sunni di Dusun Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur, kemarin.
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini menjelaskan, hasil laporan yang diterima pihaknya, peristiwa di dusun yang terletak di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, bermula ketika sek
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini menjelaskan, hasil laporan yang diterima pihaknya, peristiwa di dusun yang terletak di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, bermula ketika sek
itar 20 orang tua mengantar anak-anak mereka kembali menimba ilmu di Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI), Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
"Mengingat liburan Lebaran kemarin, anak-anak tersebut pulang ke kampung mereka," ujar Usman di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/8).
Pada pukul 11.00 WIB, imbuh Usman, sebelum keluar dari gerbang desa, rombongan pengantar tersebut dihadang massa sekitar 500 orang. Massa melengkapi diri dengan celurit, parang, serta benda tajam lainnya.
Berdasarkan keterangan salah seorang jemaah Syiah yang enggan menyebutkan namanya, Usman menjelaskan, pelaku penyerangan merupakan orang suruhan RAH. "Massa menyerang jemaah Syiah Sampang menggunakan senjata tajam."
Rombongan yang terdiri dari anak-anak dan sejumlah perempuan, masih menurut Usman, sontak berlarian menyelamatkan diri. Mereka kembali ke dalam rumah masing-masing untuk bersembunyi.
Massa kemudian meluruk sampai ke rumah-rumah jemaah Syiah dan mulai membakar sejumlah rumah milik jamaah Syiah, yaitu rumah ustaz Tajul Muluk, Muhammad Khosim alias Hamamah, dan Halimah. Korban pun berjatuhan, salah satu anggota jemaah Syiah, Muhammad Hasyim alias Hamamah (45) meninggal dunia dan satu lagi atas nama Tohir (40) kritis.
"Keduanya dianiaya ketika berniat menyelamatkan anak-anak dari rumah yang terbakar. Thohir dan Hamamah mengalami luka bacok cukup parah di bagian tubuhnya," tuturnya.
Meski penyerangan terjadi pukul 11.00 WIB, Usman mengungkapkan, hingga malam hari polisi tak melakukan pencegahan dan penyelamatan secara serius. "Saat penyerangan terjadi, sejumlah polisi memang berada di lokasi, tetapi tidak berbuat apa-apa. Mereka terlihat hanya duduk-duduk di sekitar lokasi," ujarnya.
Polisi, masih menurut Usman, baru mengevakuasi jemaah Syiah pada pukul 18.30 WIB ke Gelanggang Olahraga Sampang. Berdasarkan keterangan orang tua ustaz Tajul Muluk, tidak semua jemaah Syiah berhasil dievakuasi karena sebagian mereka masih bersembunyi dan keberadaannya belum diketahui.
"Ada yang lari ke gunung, sebagian memilih bersembunyi di tempat keluarga di luar Karanggayam. Hingga pukul 21.00 WIB ada 176 pengikut Syiah yang berhasil dievakuasi ke GOR Sampang," katanya.
Evakuasi tersebut, jelas Usman, terdiri atas 51 laki-laki, 56 perempuan, 36 anak-anak, sembilan balita (anak berusia di bawah lima tahun, dan tiga manula (manusia lanjut usia). Masih ada empat orang yang ada di RSUD Sampang. "Korban pun masih bisa bertambah mengingat belum semua jemaah Syiah diketahui keberadaanya," katanya.
Ia juga menjelaskan, penyerangan ini dilakukan saat komunitas Syiah tidak memiliki pemimpin. Hal ini karena ustaz Tajul Muluk sendiri sudah diputus dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang. Selain itu, penyerangan dilakukan di depan sejumlah anak, sehingga menimbulkan trauma pada anak dan perempuan.(ANS)
"Mengingat liburan Lebaran kemarin, anak-anak tersebut pulang ke kampung mereka," ujar Usman di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/8).
Pada pukul 11.00 WIB, imbuh Usman, sebelum keluar dari gerbang desa, rombongan pengantar tersebut dihadang massa sekitar 500 orang. Massa melengkapi diri dengan celurit, parang, serta benda tajam lainnya.
Berdasarkan keterangan salah seorang jemaah Syiah yang enggan menyebutkan namanya, Usman menjelaskan, pelaku penyerangan merupakan orang suruhan RAH. "Massa menyerang jemaah Syiah Sampang menggunakan senjata tajam."
Rombongan yang terdiri dari anak-anak dan sejumlah perempuan, masih menurut Usman, sontak berlarian menyelamatkan diri. Mereka kembali ke dalam rumah masing-masing untuk bersembunyi.
Massa kemudian meluruk sampai ke rumah-rumah jemaah Syiah dan mulai membakar sejumlah rumah milik jamaah Syiah, yaitu rumah ustaz Tajul Muluk, Muhammad Khosim alias Hamamah, dan Halimah. Korban pun berjatuhan, salah satu anggota jemaah Syiah, Muhammad Hasyim alias Hamamah (45) meninggal dunia dan satu lagi atas nama Tohir (40) kritis.
"Keduanya dianiaya ketika berniat menyelamatkan anak-anak dari rumah yang terbakar. Thohir dan Hamamah mengalami luka bacok cukup parah di bagian tubuhnya," tuturnya.
Meski penyerangan terjadi pukul 11.00 WIB, Usman mengungkapkan, hingga malam hari polisi tak melakukan pencegahan dan penyelamatan secara serius. "Saat penyerangan terjadi, sejumlah polisi memang berada di lokasi, tetapi tidak berbuat apa-apa. Mereka terlihat hanya duduk-duduk di sekitar lokasi," ujarnya.
Polisi, masih menurut Usman, baru mengevakuasi jemaah Syiah pada pukul 18.30 WIB ke Gelanggang Olahraga Sampang. Berdasarkan keterangan orang tua ustaz Tajul Muluk, tidak semua jemaah Syiah berhasil dievakuasi karena sebagian mereka masih bersembunyi dan keberadaannya belum diketahui.
"Ada yang lari ke gunung, sebagian memilih bersembunyi di tempat keluarga di luar Karanggayam. Hingga pukul 21.00 WIB ada 176 pengikut Syiah yang berhasil dievakuasi ke GOR Sampang," katanya.
Evakuasi tersebut, jelas Usman, terdiri atas 51 laki-laki, 56 perempuan, 36 anak-anak, sembilan balita (anak berusia di bawah lima tahun, dan tiga manula (manusia lanjut usia). Masih ada empat orang yang ada di RSUD Sampang. "Korban pun masih bisa bertambah mengingat belum semua jemaah Syiah diketahui keberadaanya," katanya.
Ia juga menjelaskan, penyerangan ini dilakukan saat komunitas Syiah tidak memiliki pemimpin. Hal ini karena ustaz Tajul Muluk sendiri sudah diputus dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang. Selain itu, penyerangan dilakukan di depan sejumlah anak, sehingga menimbulkan trauma pada anak dan perempuan.(ANS)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar anda.
"kritik membangun" anda sangat kami butuhkan untuk pengembangan blog ini.
terima kasih.