Lima orang sahabat berjanji untuk saling bertemu kembali pada 13
tahun kemudian… setelah masing-masing mereka berhasil meraih setiap impian dan
cita-cita yang mereka dambakan. 13 tahun kemudian, Angga (Rocky Jeff), Ikang
(Mike Lucock), Dido (Keith Foo), Ijul (Ikang Sulung) dan Anung (Ridho Boer)
akhirnya saling bertemu kembali. Sayangnya, tak satupun diantara mereka yang
mampu meraih impian mereka. Parahnya, kelima sahabat tersebut ternyata terlibat
dalam sebuah jaringan pengguna dan pengedar narkotika dan obat-obatan
terlarang. Tanpa diketahui satu sama lain, Ikang ternyata selama ini telah
menjadi seorang bandar narkoba dan mengedarkannya melalui Ijul yang kemudian
menjualnya kepada banyak orang termasuk kepada Angga, Dido dan Anung. Jelas
terbukanya tabir tersebut saling mengejutkan satu sama lain… yang akhirnya
merubah kehidupan kelima sahabat tersebut.
Ikang, yang merupakan seorang bandar narkoba namun sama sekali
tidak pernah menggunakan produk yang ia edarkan, sangat membenci fakta bahwa
keempat temannya telah terjebak ke dunia hitam yang ia jalani. Pun begitu, ia
sama sekali tidak menolak kehadiran Ijul yang datang untuk membantunya sebagai
pengedar narkoba. Keduanya bahkan menjadli kerjasama yang erat satu sama lain
dalam hal mengedarkan narkoba. Sementara itu, Angga, Dido dan Anung terjebak
semakin jauh dalam penggunaan narkoba. Angga bahkan sempat selamat dalam sebuah
peristiwa overdosis naarkoba namun sama sekali tidak jera dan terus menggunakan
barang haram tersebut. Secara perlahan, bahaya penggunaan narkoba akhirnya
mulai menemui kelima sahabat tersebut satu-persatu.
Merupakan karya perdana rumah
produksi Prima Media Sinema sekaligus menjadi debut penyutradaraan bagi Bambi
Martantio yang bekerjasama dengan Bani Ramadhan untuk menuliskan naskah cerita
film ini, X – The Last Moment secara
gamblang memiliki sebuah niat yang tulus untuk membantu menyebarkan pesan untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat akan berbagai cara peredaran narkotika dan
obat-obatan terlarang, bagaimana para korbannya menggunakan barang haram
tersebut, menjelaskan mengenai bahaya dan efek samping dari penggunaannya
hingga bagaimana cara untuk terlepas maupun terhindar dari jebakan dunia hitam
narkoba. Namun, seperti yang dialami oleh banyak film bertema relijius maupun
film-film yang bertemakan pesan sosial, niat tulus sama sekali tidak dapat
diandalkan dalam pembuatan sebuah film. Kemampuan para pembuatnyalah yang akan
menentukan bagaimana kualitas penyampaian cerita yang ‘berniat tulus’ tersebut
akan mampu diterima oleh para penonton film.
Sayangnya, X – The Last Moment tidak memiliki para sineas yang
benar-benar berniat tulus dalam mengerjakan tugasnya. Mulai dari sutradara,
penulis, pengisi tim produksi hingga jajaran pemeran film ini menampilkan
kemampuan yang sama sekali tidak dapat disebut sebagai sebuah presentasi yang
memuaskan. Bambi Martantio dan Bani Ramadhan terkesan menganggap gampang untuk
menuliskan sebuah naskah cerita film yang bertemakan penyuluhan narkoba.
Hasilnya, mereka memasukkan semua unsur klise yang dapat ditemukan dan
berkaitan dengan penggunaan narkoba: karakter yang overdosis, karakter yang
terjebak dalam pelacuran, karakter yang terkena virus HIV/AIDS, karakter yang
dikejar-kejar oleh pihak pembela hukum hingga karakter yang kemudian kehilangan
kewarasannya. Semua disajikan menjadi satu dalam sebuah talian kisah yang
kadang terkesan hanya sebagai potongan-potongan kisah yang gagal untuk berbaur
satu sama lain.
Dengan naskah yang diisi rentetan potongan kisah yang begitu
klise (baca: murahan) – dan dialog-dialog yang benar-benar menggelikan,
pengarahan Bambi Martantio juga sama sekali tidak terlihat berusaha untuk
menampilkan kemampuan terbaik dari kualitas produksi filmnya. Beberapa adegan
diisi dengan efek khusus mengenai bagaimana narkoba akan berpengaruh pada
kinerja tubuh penggunanya… dan efek khusus tersebut ditampilkan dengan sangat,
sangat, sangat buruk. Berkualitas sama rendahnya dengan kualitas gambar yang
dihasilkan serta tata suara yang dibuat sekuat mungkin serta sangat mengganggu
sehingga penonton kemungkinan besar akan kehilangan sebagian kemampuan
pendengaran mereka seusai menyaksikan film ini.
Perlu berbicara mengenai jajaran
pengisi departemen akting film ini? Oh well… nama-nama
seperti Keith Foo dan Rocky Jeff mungkin sudah dikenal sebagai nama-nama yang
banyak mengisi film-film kelas bawah di industri film Indonesia. Bermain di
film sekelas X – The Last Moment jelas sama sekali tidak akan
memberikan sebuah peningkatan karir yang berarti bagi mereka. X – The Last Moment juga
semakin memantapkan dugaan kalau Mike Lucock lebih baik berakting tanpa
kehadiran dialog seperti yang ia lakukan di The Perfect House (2011). Karena, dengan kehadiran
dialog, penonton kemungkinan besar dapat merasakan bahwa Mike bukanlah seorang
aktor yang sangat berbakat dalam dunia akting. Lihat saja adegan pembuka film
ini dimana karakter Ikang yang ia perankan terlihat marah besar ketika
mengetahui temannya terjebak ke dunia hitam narkoba. Tanpa terasa, penonton
akan tertawa melihat kemampuan akting Mike dalam menafsirkan bagaimana sebuah
emosi yang disebut marah besar tersebut. Tidak hanya Keith, Rocky dan Mike,
jajaran pemeran pendukung film ini juga tampil sama memalukannya.
Well… X – The Last Moment jelas bukanlah salah satu momen paling
membahagiakan yang dapat penonton dapatkan dari industri film Indonesia.
Bahkan, adalah cukup aman untuk mengungkapkan bahwa film ini adalah salah satu
bukti bahwa industri film Indonesia masih belum lepas dari orang-orang yang
beranggapan bahwa dengan merilis sebuah film yang keluar dari zona film
komedi/horor/seks maka mereka telah menghasilkan sebuah film dengan kualitas
yang cukup berarti. Salah besar! X – The Last Moment diisi dengan naskah cerita yang
berkualitas medioker – dimana penulisnya cukup bekerja dengan memasukkan semua
hal klise yang dapat ditemui dalam banyak film Indonesia yang bersinggungan
dengan narkotika dan obat-obatan terlarang, dialog-dialog yang begitu
menggelikan, pengarahan dari sutradara yang sama sekali tidak mengerti
bagaimana merangkai sebuah kisah yang padu, tim produksi yang bekerja dengan
kualitas seadanya dan jajaran pengisi departemen akting yang sama sekali gagal
untuk dikatakan telah memberikan kemampuan berakting. X – The Last Moment berada di jalur yang benar-benar tepat untuk menjadi salah satu film Indonesia terburuk pada tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar anda.
"kritik membangun" anda sangat kami butuhkan untuk pengembangan blog ini.
terima kasih.